Google
 

Selasa, 12 Mei 2009

De Wallen in Kali Besar

Salah satu museum di kawasan De Wallen, Belanda

Kawasan di sekitar Kali Besar, Jakarta.

Beginilah kondisi Kali Besar di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Sampah seringkali menggunung di kali ini, bau busuk dari tumpukan sampah menyebar dan menusuk hidung.

Kawasan prostitusi De Wallen atau The Walls yang terkenal di dunia. Tempat ini ada di jantung kawasan tertua Amsterdam sekaligus di pinggir kanal.

De Wallen, Amsterdam, suatu siang di musim gugur yang berangin. Seperti biasa turis dan penduduk lokal berbaur. Tak ada yang peduli satu sama lain. Yang satu mengagumi kotak kaca, yang lain bergegas entah ke mana. Yang satu tanpa tengok kiri kanan melesat masuk ke salah satu gedung tua, yang lain menyasar coffee shop.

Itulah selintas gambaran kesibukan kawasan prostitusi terbeken dunia. De Wallen atau The Walls ada di jantung kawasan tertua Amsterdam sekaligus, tentunya, di pinggir kanal. Kotak kaca tadi tak sekadar kotak kaca karena di dalamnya perempuan-perempuan berpakaian minim sengaja mejeng. Deretan gedung tua di sana banyak diisi dengan segala sesuatu yang berbau seks, masuk ke sex shop, coffee shop, atau museum—museum kanabis dan museum seks—jadi alternatif turis yang penasaran sekaligus sebagai sarana "berteduh" sebentar dari semburan angin.

Malam di kawasan yang sama, suasana makin hidup, sumringah. Angin dingin yang menampar-nampar sekujur tubuh tak lagi terasa. Kanal-kanal memantulkan sinar lampu, bau mariyuana lewat bersama angin berpadu dengan bau mulut-mulut selepas menenggak minuman beralkohol.

Sekejap kemudian, Warta Kota seperti terbangun dari mimpi. Di depan mata memang terpantul kerlip lampu kanal, memang terhampar bangunan tua, dan memang semua itu ada di jantung tertua sebuah kota. Tapi ini bukan De Wallen, ini Kali Besar, ini Jakarta.

Saat bau alkohol menyebar dari mulut-mulut pengunjung kafe jalanan di Kali Besar itu mampir sebentar di hidung disambut asap rokok kretek, saat itulah Warta Kota terlempar kembali ke kanal lain di Jakarta. Perempuan seksi bergoyang seksi berusaha memanaskan suasana malam. Pengeras suara berukuran besar bertumpuk di depan gedung, atau tepatnya di belakang Museum Wayang.

Sementara itu, meja dan bangku-bangku ditata layaknya kafe. Di tengah meja tertata rapi beberapa jenis minuman beralkohol, kadang ditambah cemilan berupa kacang kulit. Semua ditata di pinggir jalan beratapkan langit. Pria-pria bersama beberapa perempuan saling pepet, berpangku, dan bergelayut mesra. Di latar belakang, pengeras suara setia menemani penyanyi dangdut yang tetap ngotot dengan suara sember-nya.

Namun demikin "De Wallen" Jakarta ini tak seperti De Wallen yang asli. Di sini, pria-pria akan lupa diri setelah alkohol memengaruhi kesadarannya. Di sini, semua itu bikin warga prihatin, di sini semua itu ilegal. Di sini, orang membuang hasrat seenaknya. Di sini tak ada patung Belle bertuliskan "Hormati pekerja seks di seluruh dunia". Di sini, kondom barangkali cuma bermakna sekadar kata benda.

Di kota tua Jakarta, "De Wallen" itu ada, nyata. Tapi di sini, "De Wallen" bukanlah De Wallen. Bagaimanapun warga kelas bawah itu tetaplah perlu tempat melepas apa pun yang menyesakkan dada dan membekukan otak di kepala. *

Pradaningrum W

Sumber : kompas.com

Tidak ada komentar: