Google
 

Senin, 25 Mei 2009

KEHIDUPAN DI BATAVIA 1920-an



Pada tahun 1928 Batavia berpenduduk 450 ribu jiwa, 25 ribu diantaranya orang Eropa. Di antara orang Eropa itu, dua pertiganya Indo-Belanda. Mereka tersebar diseluruh kota, hidup dalam rumah besar maupun dalam tempat tinggal sederhana. Bahkan banyak yang tinggal di sepanjang jalan becek dan kotor di kampung-kampung yang terletak di pinggir kota, seperti Kemayoran, Jakarta Pusat. Kampung ini dikenal dengan istilah Belanda Kemayoran. Maksudnya, Indo Belanda yang tinggal di Kemayoran.

Tapi, bukan hanya di Kemayoran. Di beberapa kampung juga banyak tinggal para Indo Belanda mapun totok. Kalau yang belakangan ini tidak mau bergaul dengan orang kampung, tidak demikian dengan para Indo. Saat tinggal di Kwitang semasa kecil, saya banyak bergaul dengan para Indo Belanda. Hampir tiap hari bermain sepakbola dengan mereka baik di lapangan Kwitang, maupun Gambir (kini Monas). Warga Belanda dan Indo meninggalkan Indonesia pertengahan 1950-an ketika hubungan kedua negara putus karena masalah Irian Barat (Papua).


Kembali ke situasi Batavia 1928, kala itu rum ah-rumah besar mendominasi pusat kota. Sampai 1950-an, di jalan raya antara Kramat, Salemba, Matraman, dan Jatinegara, terdapat banyak rumah (gedung) besar dengan pekarangan yang begitu luas. Kini gedung-gedung tersebut berubah fungsi menjadi perkantoran, perusahaan dan perhotelan. Salah satunya adalah Gedung Arsip Nasional dan Departemen Sosial, keduanya di Salemba yang dulunya merupakan rumah tinggal. Rumah-rumah tersebut pada awalnya dibangun sebagai tempat tinggal di luar kot a (county residence) bagi orang Eropa, namun secara bertahap mereka terserap menjadi wilayah pinggiran kota.

Ketika itu, tulis Pamela Pattynama dalam buku Recalling the Indies, status dan kemakmuran penduduk dapat diukur dari tempat tinggalnya. Beberapa rumah menyerupai istana dengan ruangan dingin beratap tinggi yang dilengkapi galeri dan teras marmer dilatari dengan halaman rumput, hiasan pohon palem dan pohon lainnya.


Kala itu, kawasan Menteng baru saja dibangun (awal 1920-an). Di atas tanah seluas 600 hektar, ratusan pekerja termasuk para arsitek, terlihat sibuk membangunm Menteng untuk dijadikan sebagai kawasan elit Eropa. Ketika Menteng dibangun, para penduduknya (warga Betawi), dipindahkan ke Karet, Jakarta Pusat. Mereka yang tergusur telah meningkatkan ganti rugi dari lima sen menjadi lima perak (gulden) per m2. Syarikat Islam (SI) yang kala itu baru berdiri turut berperan membela penduduk hingga mendapat ganti rugi yang layak.

Seperti diceritakan Pamela Pattynama, dosen luar biasa pada Amsterdam University yang mengadakan penelitian untuk tesisnya, rumah-rumah besar tempat tinggal para elit Indo, memilikki banyak pembantu. Pada pukul lima pagi koki sudah menyiapkan kopi tubruk untuk tuan rumah sambil mengisap cerutu. Sementara tukang-tukang kebun menyapu dan membersihkan halaman dengan sapu lidi besar. Sedangkan tukang rumput membersihkan dan memangkas rumputnya. Sementara para babu sibuk menyiapkan hidangan sarapan yang terdiri dari bubur, roti dan biskuit, dengan selai atau keju.

Dalam kehidupan sehari-hari para Indo lebih banyak mengikuti adat istiadat penduduk setempat. Para wanitanya, bila berada di dalam rumah menggunakan kebaya dan kain batik. Baru di luar rumah mereka mengenakan pakaian Barat. Sedangkan pria memakai piyama pada sore hari setiba dari kantor. Sementara para nyonya memakai kimono atau hoskut. Kala itu, kantor-kantor umumnya berada di kawasan Kota. Mereka ke kantor dengan menggunakan mobil, delman atau trem listrik, yang mendominasi angkutan ketika itu.

Sepeda juga banyak digunakan, se hingga di jalan-jalan Batavia ada jalur khusus untuk sepeda. Pukul 12.00 siang, saat jam istirahat kantor, dari rumah dikirimkan rantang berisi nasi, sayur mayur, dan kerupuk. Rupanya kala itu di kantor-kantor tidak terdapat kantin seperti sekarang. Atau mungkin harganya lebih mahal.

Kehidupan kala itu sangat tenang, tidak dipusingkan oleh kemacetan lalu lintas, dan gangguan keamanan. Tidak heran pada sore hari mereka dapat berpesiar dengan leluasa ke pusat-pusat pertokoan di Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Pasar Baru. Mereka akan membeli kosmetik dan barang-barang renik serta melihat-lihat desain terbaru Bonnefaas, perancang busana terkenal. Tujuan utama dari jalan-jalan shopping mereka adalah toko The Little Swiss Fashion House dan Vesteeg Fashionj Emporium untuk memperoleh pakaian wanita yang mewah.

Jika tidak menemukan apapun yang mereka sukai, mereka akan mengunjungki toko Maison dxe Bonneterie dan toko Au Printemps di Jl The Risjwijk (kini diujung Hayam Wuruk), yang masih memperoleh koleksinya langsung dari Paris. Dalam waktu pertengahan mereka minum kopi di Stam and Wijen, atau membeli es krim di Ragusa's (sampai kini masih buka di Jl Veteran I).

Ketika itu, film bicara baru saja dimulai menggantikan film bisu. Sejumlah bioskop kelas satu antara lain Rembrandt Theatre, Globe Bioscoop, Decapark, dan Troelie. Kini hanya tinggal bioskop Globe di Pasar Baru. Bintang film yang jadi pujaan penonton, khususnya para gadis, adalah Rudolph Valentino, yang berwajah tampan dan seksi.

Pada hari-hari Minggu bila tidak ke tempat peranginan di Buitenzorg (Bogor), para pemuda dan gadis pergi ke zwembad (pemandian) Manggarau atau Cikini di Weltevreden. Jadi tradisi kala itu, di kolam renang dari pukul 11 ada pertunjukan band. Para muda-mudi ini datang ke kolam renang dengan sepeda motor empat gigi -- Royal Enfield dan Harley Davidson. Setelah berenang dan dengar musik, mereka pun berdansa, dan splitjes (meminum minuman beralkohol).

( Alwi Shahab from Republika)

Sumber : kampung-pinggiran.blogspot.com

[+/-] Read More...

Ketupat Laksa Betawi yang Langka

 
Ketupat Laksa Bang Darus

Saat ini laksa betawi semakin langka atau sulit ditemui. Menurut sejarah, laksa adalah makanan berjenis mi yang diberi bumbu sesuai kebudayaan peranakan. Dalam laksa ada gabungan elemen Tiongkok dan Melayu. Ada beberapa jenis laksa. Adapun yang dikenal di Indonesia adalah jenis laksa penang. Bentuk mi-nya bulat putih dan sedikit tebal.

Nama laksa diambil dari kata dalam bahasa Sanskerta (India kuno) yaitu laksha yang berarti "banyak". Hal itu menunjukkan bahwa mi laksa dibuat dengan banyak bumbu.

Di antara sedikit penjual laksa betawi lama, salah satunya adalah kedai ketupat laksa Bang Darus di Kebayoran Lama. Kuahnya yang berwarna kekuningan terbuat dari udang rebon sehingga rasanya menjadi khas dan segar. Seporsi harganya Rp 8.000.

Laksa betawi lazimnya berisi telur, ketupat, tauge pendek, daun kemangi, dan kucai. Ada juga yang menambahkan bihun dan perkedel, tetapi keduanya hanya sebagai variasi atau tambahan. Ketupat laksa Bang Darus tidak menggunakan kedua bahan tersebut.

”Itu cuma pilihan saja. Kalau di sini, makan laksa lauknya bisa ditambah semur betawi. Jadi, rasa gurih dengan manisnya bisa membuat cita rasa tersendiri,” kata Nufi Salam yang kini menjalankan usaha kedai ketupat laksa Bang Darus. Nufi adalah menantu dari Darussalam Isa, pendiri usaha tersebut.

Kuah laksa di kedai itu agak kental, tetapi tetap terasa segar ketika dimakan. Begitu ada yang pesan, penjual akan langsung meracik susunan ketupat, tauge pendek, telur, daun kemangi, dan kucai dalam satu piring, lalu disiram dengan kuah.

Mungkin Anda juga pernah mencoba laksa bogor atau laksa tangerang. Meski sama-sama bernama laksa, tetapi cita rasanya berbeda. Kalau laksa bogor, kuah kentalnya berasal dari potongan oncom. Lalu, dalam campurannya ada ketupat, bihun, tauge panjang, suwiran daging ayam, udang, dan telur rebus. Biasanya dimakan dengan sambal cuka.

Terkadang, penjual laksa menyiram dan membuang kuahnya berulang kali agar bumbunya meresap ke dalam bahan-bahan yang ada. ”Kalau kami tidak perlu menyiram dan membuang kuah berulang kali. Cukup sekali tuang maka kekentalan bumbunya sudah sangat terasa,” ujar Nufi.

Agak rumit
Menurut Nufi, mengolah laksa betawi susah-susah gampang. Bumbunya sederhana, terdiri dari kunyit, lengkuas, sereh, daun salam, daun jeruk, jahe, jintan, lada, temu kunci, serta dua kilogram udang rebon. Semua bumbu dihaluskan dengan lumpang lalu ditumis dan dicampur dengan santan cair.

Bumbu baru ditambahkan dengan santan kental. Proses ini dilakukan sampai tiga kali. Sejak dahulu hingga sekarang, kata Nufi, sang ibu mertua masih aktif membantu meracik semua bumbu sehingga rasa dari ketupat laksa ini tidak pernah berubah.

”Dengan proses yang agak rumit, tidak aneh kalau makanan ini jadi agak langka. Orang maunya langsung jadi tanpa memikirkan cara pembuatannya. Contohnya saudara saya. Dia tahu resepnya dan diajari cara membuatnya, tetapi rasanya tetap berbeda dengan yang saya buat,” tuturnya.

Dalam sehari, di kedai ketupat laksa Bang Darus bisa habis 200 ketupat. Belum lagi bila ada pesanan untuk pesta pernikahan. Ketupatnya terasa empuk dan teksturnya sangat bagus karena untuk mengolahnya dibutuhkan waktu 12 jam. Ketupat itu bisa tahan hingga dua hari. (DAM)

Sumber; kompas.com


[+/-] Read More...

Festival Pe Cun di Gedong Galangan VOC


Kompas
Lomba Perahu Naga di Taipei, Taiwan tahun 2006. Lomba ini merupakan peringatan untuk mengenang Chun Yuan, seorang sarjana-negarawan yang mati tenggelam pada tahun 227 sebelum Masehi, ketika berusaha membongkar korupsi oleh negara.


PE CUN, satu dari empat hari raya warga Tionghoa yang dianggap cukup penting. Sebelum Pe Cun, ada Imlek di tanggal satu bulan satu penanggalan lunar yang juga biasa disebut sebagai festival musim semi; Ceng Beng di awal April yang merupakan upacara sembahyang kepada leluhur; Pe Cun yang biasa dirayakan pada tanggal lima bulan lima penanggalan lunar; serta Tiong Cu tanggal 15 bulan delapan tak lain terkait dengan kue bulan.

Setiap tahun hari raya Pe Cun/Pee Cun/Peh Cun selalu dirayakan di berbagai tempat di Indonesia, antara lain di Juana, Lasem, Jawa Tengah; Tangerang, dan diharapkan Jakarta juga mampu menggelar festival budaya Pe Cun (mendayung perahu). Sejak tahun 2005, di Tangerang, lomba perahu naga menyemarakkan Peh Cun dengan Festival Cisadane.

Lomba perahu naga dan kano dipusatkan di Sungai Cisadane. Sebuah lomba yang menjadi daya tarik perayaan Pe Cun, yang sempat dilarang sejak 1965. Sebelum pesta ini digelar di Cisadane, kanal di Batavia pernah menjadi pusat lomba perahu naga dalam rangka Pe Cun hingga 1910 sebelum akhirnya kanal makin dangkal oleh sampah.

Selain perahu naga, Peh Cun juga ditandai dengan makan bacang (bakcang). Bacang adalah makanan yang terbuat dari beras dengan diisi daging cincang di dalamnya. Latar belakang perayaan ini tak lain untuk mengenang dan menghormati jasa dari seorang negarawan yang bernama Qu Yuan, berasal dari negara Cho, pada masa Dinasti Ciu di Cina.

Qu Yuan, demikian legenda bicara, mengorbankan jiwa dan raganya dengan menceburkan diri di sungai pada tanggal lima bulan lima, sehingga rakyatnya merasa sedih karena kehilangan seorang yang arif bijaksana ini. Agar jasad dari Qu Yuan - yang tidak bisa ditemukan - tidak dimakan hewan-hewan air, maka rakyat negeri Cho berlomba melemparkan bacang ke dalam sungai tersebut. Dari situlah maka pesta bacang terus digelar secara turun-temurun di mana-mana.

Untuk mengingatkan warga Tionghoa di Jakarta pada perayaan Pe Cun, maka Susilawati, pemilik Gedong Galangan VOC, akan menggelar Festival Pe Cun pada 28-31 Mei di gedung Jalan Kakap itu. Berbagai acara seperti pembukaan LAN Art & Galery, peresmian berdirinya YAYI Calligraphy & Painting Research Institute, pameran kaligrafi, pertunjukan musik tradisional Tionghoa. Perlombaan membuat bacang dan talk show tentang batik menjadi salah satu agenda acara.

Pembukaan festival ini rencananya akan dibuka oleh Walikota Jakarta Utara, Bambang Sugiyono, pada 28 Mei tepat pukul 15.00. Sayang, kanal yang begitu panjang di Jakarta - atau katakan saja Kalibesar - belum bisa jadi pusat perayaan yang berpotensi jadi agenda tahunan wisata Jakarta dan jadi atraksi wisata, tentunya. Revitalisasi Kota Tua kan tak hanya revitalisasi fisik, tapi juga berbagai budaya, folklor yang ikut membangun Jakarta.

WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto



Sumber : kompas.com

[+/-] Read More...

Selasa, 12 Mei 2009

De Wallen in Kali Besar

Salah satu museum di kawasan De Wallen, Belanda

Kawasan di sekitar Kali Besar, Jakarta.

Beginilah kondisi Kali Besar di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Sampah seringkali menggunung di kali ini, bau busuk dari tumpukan sampah menyebar dan menusuk hidung.

Kawasan prostitusi De Wallen atau The Walls yang terkenal di dunia. Tempat ini ada di jantung kawasan tertua Amsterdam sekaligus di pinggir kanal.

De Wallen, Amsterdam, suatu siang di musim gugur yang berangin. Seperti biasa turis dan penduduk lokal berbaur. Tak ada yang peduli satu sama lain. Yang satu mengagumi kotak kaca, yang lain bergegas entah ke mana. Yang satu tanpa tengok kiri kanan melesat masuk ke salah satu gedung tua, yang lain menyasar coffee shop.

Itulah selintas gambaran kesibukan kawasan prostitusi terbeken dunia. De Wallen atau The Walls ada di jantung kawasan tertua Amsterdam sekaligus, tentunya, di pinggir kanal. Kotak kaca tadi tak sekadar kotak kaca karena di dalamnya perempuan-perempuan berpakaian minim sengaja mejeng. Deretan gedung tua di sana banyak diisi dengan segala sesuatu yang berbau seks, masuk ke sex shop, coffee shop, atau museum—museum kanabis dan museum seks—jadi alternatif turis yang penasaran sekaligus sebagai sarana "berteduh" sebentar dari semburan angin.

Malam di kawasan yang sama, suasana makin hidup, sumringah. Angin dingin yang menampar-nampar sekujur tubuh tak lagi terasa. Kanal-kanal memantulkan sinar lampu, bau mariyuana lewat bersama angin berpadu dengan bau mulut-mulut selepas menenggak minuman beralkohol.

Sekejap kemudian, Warta Kota seperti terbangun dari mimpi. Di depan mata memang terpantul kerlip lampu kanal, memang terhampar bangunan tua, dan memang semua itu ada di jantung tertua sebuah kota. Tapi ini bukan De Wallen, ini Kali Besar, ini Jakarta.

Saat bau alkohol menyebar dari mulut-mulut pengunjung kafe jalanan di Kali Besar itu mampir sebentar di hidung disambut asap rokok kretek, saat itulah Warta Kota terlempar kembali ke kanal lain di Jakarta. Perempuan seksi bergoyang seksi berusaha memanaskan suasana malam. Pengeras suara berukuran besar bertumpuk di depan gedung, atau tepatnya di belakang Museum Wayang.

Sementara itu, meja dan bangku-bangku ditata layaknya kafe. Di tengah meja tertata rapi beberapa jenis minuman beralkohol, kadang ditambah cemilan berupa kacang kulit. Semua ditata di pinggir jalan beratapkan langit. Pria-pria bersama beberapa perempuan saling pepet, berpangku, dan bergelayut mesra. Di latar belakang, pengeras suara setia menemani penyanyi dangdut yang tetap ngotot dengan suara sember-nya.

Namun demikin "De Wallen" Jakarta ini tak seperti De Wallen yang asli. Di sini, pria-pria akan lupa diri setelah alkohol memengaruhi kesadarannya. Di sini, semua itu bikin warga prihatin, di sini semua itu ilegal. Di sini, orang membuang hasrat seenaknya. Di sini tak ada patung Belle bertuliskan "Hormati pekerja seks di seluruh dunia". Di sini, kondom barangkali cuma bermakna sekadar kata benda.

Di kota tua Jakarta, "De Wallen" itu ada, nyata. Tapi di sini, "De Wallen" bukanlah De Wallen. Bagaimanapun warga kelas bawah itu tetaplah perlu tempat melepas apa pun yang menyesakkan dada dan membekukan otak di kepala. *

Pradaningrum W

Sumber : kompas.com

[+/-] Read More...

Senin, 11 Mei 2009

Merindu Trem di Jakarta

Peta jalur trem di masa lalu

Alat transportasi bernama trem mulai diperkenalkan di Batavia pada 1869. Trem pada masa itu ditarik oleh kuda. Meski "mesin penggeraknya" kuda, tapi jarak tempuhnya lumayan panjang, dari Kwitang ke Pasar Ikan. Lambat laun posisi trem kuda digantikan dengan trem bermesin uap pada 1881. Ketel uap yang ditempatkan dalam kaleng besar menjalankan lokomotif trem.

Karena menggunakan uap maka jarak tempuh trem ini lebih jauh, dari Pasar Ikan ke Gajah Mada hingga Harmoni, berlanjut ke Kramat melalui Pasar Baru dan lapangan Banteng, kemudian ke Meester Cornelis (Jatinegara) melewati Salemba dan Matraman.

Sekitar 20 tahun kemudian atau tahun 1901 trem listrik mulai diperkenalkan. Meski demikian, trem upa tetap beroperasi. Trem uap akhirnya berhenti beroperasi pada 1933 karena semua trem sudah menggunakan listrik.

Trem listrik berakhir pada tahun 1960 di masa Wali Kota Sudiro. Ketika trem hendak digusur, Sudiro memohon pada Presiden Soekarno agar jaringan trem dari Jatinegara - Senen tetap dipertahankan. Tapi Bung Karno, Presiden RI pertama, menolak dan menganggap trem tidak cocok untuk kota semacam Jakarta. Dia lebih setuju dibangun metro atau kereta api bawah tanah.

Dalam majalah Star Weekly terbitan 29 Maret 1960 ada artikel tentang trem yang siap digusur. Dalam artikel itu dinyatakan bahwa penghapusan trem adalah untuk mengurangi kemacetan. Jalan Gaja Mada disebut sebagai jalan yang selalu macet dan orang selalu menyalahkan trem sebagai biang keladi kemacetan. Padahal kemacetan tidak selalu karena trem tapi juga karena oplet mogok.

Star Weekly edisi yang mengangkat judul "Trem Kota Djakarta Akan Tamat Riwajatnja" menyebutkan, trem uap diganti trem listrik adalah karena jalur (lin) yang ditempuh trem listrik berbeda dengan yang ditempuh trem listrik. Trem uap melalui jalur sepi penduduk di masa lalu, seperti Mangga Dua, Jalan Jakarta, Gunung Sahari ke Kramat dan Tanahabang.

Jalur trem di Batavia sudah masuk dalam buku panduan turis yang akan melancong ke Batavia. Buku "Gids voor Indie" terbitan 1932 bahkan menyertakan jalur dan peta trem di Batavia.

Trem di masa lalu menjadi bulan-bulanan rakyat karena dinilai sebagai sisa kolonialis yang sangat berbau Eropa. Tak heran jika pada tahun 1960 itu banyak pula yang bersorak saat trem dihapus. Trem diganti bus-bus yang dikelola PPD. Padahal pada kenyataannya jika trem terus dilestarikan, transportasi Jakarta tak bakal seruwet dan sekacau sekarang ini. Pada akhirnya, toh, pemerintah DKI Jakarta terus mengupayakan transportasi massal semacam TransJakarta, serta merencanakan monorel bahkan subway. Meski rencana tinggal rencana.

PRA

Sumber : kompas.com

[+/-] Read More...

Minggu, 10 Mei 2009

Menanti Taman Wisata Sejarah di Makam Beng Kong


Gang Taruna, gang sempit menuju makam kapitan Souw Beng Kong.

SEBUAH gang sempit di antara permukiman padat di kawasan Mangga Dua kini seakan mencuat. Tepatnya, mungkin, semakin mencuat karena semakin banyak orang mengetahui keberadaan gang ini - sebuah gang yang terbilang istimewa. Gang kecil bernama Taruna di Jalan Pangeran Jayakarta ini menyimpan satu makam kuno dari petinggi Batavia di tahun 1600-an.

Di tahun 1600-an kawasan itu merupakan kebun luas milik seorang kapitan. Kini kebun luas itu sudah berubah menjadi sebuah kawasan padat penduduk. Tak ada lagi bekas-bekas masa lalu kecuali makam kuno tadi.

Makam yang disebut-sebut ajaib ini adalah makam kapitan Tionghoa pertama di Batavia, Souw Beng Kong. Ajaib karena makam dari tahun 1644 itu tak tergerus perkembangan kota, tak tergusur bangunan petak di kawasan ini. Makam kuno dengan tiga batu nisan berbahasa Belanda dan China ini sempat terlupakan, tak terurus hingga jadi dasar bangunan kos (hingga sekitar tahun lalu).

Di tahun 1929, Mayor Tionghoa Khow Kim An - pemilik Gedung Candra naya - memugar makam Beng Kong. Khow Kim An juga yang menambahkan dua nisan, berbahasa Belanda dan China, yang menjelaskan riwayat sang kapitan untuk melengkapi makam. Keajaiban lain adalah kenyataan bahwa makam Mayor Kim An yang memugar makam Beng Kong pun belum ditemukan keberadaannya.

Menurut Hendra Lukito, pengamat bangunan China klasik, keberadaan makam yang bisa melampaui beberapa zaman, penyerobotan tanah, pembangunan liar sungguh dahsyat. "Bayangkan, makam ini ada di kawasan kumuh. Di atas makamnya malah ada bangunan bertingkat lengkap dengan jamban," ujarnya.

Di tahun 2002 berbagai kelompok masyarakat dari Universitas Tarumanegara, Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonsia), Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa Indonesia (PSMTI) didukung oleh marga Souw berkumpul hingga pada 2006 makam Souw beng Kong bisa mulai dipugar dan mendapat lahan seluas 200 m2. Padahal, seperti sudah disebutkan di atas, dulu kawasan ini adalah kebun milik Beng Kong - luasnya 20.000 m2 hadiah dari Pemerintah Belanda.

Kini makam itu sudah dikonservasi bahkan diusulkan agar menjadi benda cagar budaya. "Kita sudah usulkan dari tahun lalu, tapi belum ada tanggapan. Kita tunggu aja, tapi kita juga tetap usahakan terus ke DPRD DKI dan dinas (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI - Red)," ujar Hendarmin Susilo, ketua Yayasan Souw Beng Kong . Sementara itu Ernawati Sugondo, anggota komisi B DPRD DKI menyatakan usulan ini mendapat tanggapan positif dari DPRD DKI.

Total anggaran pemugaran sekitar Rp 400 juta. Kini, anggaran besar diperlukan untuk mewujudkan rencana makam menjadi taman wisata sejarah. Pembebasan tanah di sekitar makam adalah tahap selanjutnya yang harus dikerjakan oleh Yayasan Souw Beng Kong. Upaya pembebasan tanah ini agar makam bisa terlihat dari Jalan Pangeran Jayakarta. Tujuan akhirnya tak lain adalah mewujudkan Taman Wisata Sejarah Kota Tua Batavia. Sebuah upaya yang tak mudah, tapi bukan tak mungkin.

WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Sumber : kompas.com

[+/-] Read More...

Sabtu, 09 Mei 2009

Buick Soekarno di Bekas Hotel Schomper I

Mobil sedan limosin merk Buick (tahun 1939) buatan pabrik General Motor (GM), Amerika Serikat, ini merupakan mobil kepresidenan pertama yang dimiliki pemerintah Indonesia dan digunakan oleh Soekarno dalam menjalankan tugas sebagai Presiden RI I.

Frans Schomper, begitu nama pria kelahiran RS St Carolus lebih dari 80 tahun lalu. Ia adalah "putra mahkota" pengusaha hotel dan restoran, baik di Jakarta, Bandung, maupun Lembang. Frans—kemudian menjadi "Prans" dan akhirnya menjadi "Pans" karena warga lokal sulit menyebut nama aslinya—mengalami masa bahagia selama sekitar 20 tahun di Batavia, sejak ia lahir di tahun 1926.

Kisah hidupnya tertuang dalam buku Maaf, Saya Anak Belanda Betawi. Sebagian bercerita tentang Batavia, kemudian berlanjut ke Bandung.

LC Schomper, ayah Pans, mendirikan hotel di kawasan yang kini dikenal sebagai Menteng Raya. Hotel Schomper 1, begitu namanya. Hotel ini dibangun khusus bagi pejabat tinggi Belanda, pengusaha asing, dan pejabat pribumi.

Saat Jepang menjajah Indonesia, Hotel Schomper dikuasai oleh pemuda Indonesia dan dijadikan asrama pendidikan nasionalisme para pemuda Indonesia. Soekarno (Presiden 1 RI), Mohammad Hatta (Wapres 1 RI), Adam Malik, Chaerul Saleh, dan sejumlah tokoh Indonesia lainnya merupakan tokoh pemuda yang terlibat dalam pendidikan pemuda yang memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia.

Saat Jepang menjajah Indonesia, Hotel Schomper dikuasai oleh pemuda Indonesia dan dijadikan asrama pendidikan nasionalisme para pemuda Indonesia. Soekarno (Presiden 1 RI), Mohammad Hatta (Wapres 1 RI), Adam Malik, Chaerul Saleh, dan sejumlah tokoh Indonesia lainnya merupakan tokoh pemuda yang terlibat dalam pendidikan pemuda yang memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia.

Saat Jepang masuk ke Indonesia itulah saat-saat Pans akhirnya harus kembali ke tanah moyangnya, tanah yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Nama Hotel Schomper I kemudian diganti dengan nama Gedung Menteng 31. Seiring perkembangan waktu, Gedung Menteng 31 dipergunakan untuk berbagai kegiatan, di antaranya sebagai kantor Kementerian Pengerah Tenaga Rakyat dan Kantor Dewan Harian Angkatan '45.

Pada 19 Agustus 1974, setelah melalui serangkaian perbaikan dan renovasi, Gedung Menteng 31 diresmikan sebagai Museum Joang '45 oleh Presiden Soeharto dan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Nama Museum Joang '45 dipilih karena gedung ini memiliki peranan besar dalam mempertahankan kemerdekaan dan dapat menjadi wahana pewaris nilai-nilai kejuangan 45.

Di museum ini tersimpan Mobil REP.1. Mobil sedan limosin merk Buick (tahun 1939) buatan pabrik General Motor (GM), Amerika Serikat. Mobil ini merupakan mobil kepresidenan pertama yang dimiliki Pemerintah Indonesia dan digunakan oleh Soekarno dalam menjalankan tugas sebagai Presiden RI I.

Ada pula beberapa anggota yang membawa topi baja yang mempunyai tiga fungsi. Yaitu sebagai pelindung tembakan, penutup hujan (karena pasukan sering bergerak di bawah hujan), dan sebagai alat menjerang air panas untuk mengobati kudis.

Koleksi lain museum ini adalah senjata laras panjang merk Kirov, kaliber 762 buatan Rusia, dan senjata laras panjang merk Styer kaliber 762 buatan Austria. Keduanya diperoleh melalui perebutan dengan tentara Jepang di Malang. Jenis senjata lain adalah senjata otomatis merk Thompson kaliber 45 buatan Amerika yang digunakan TRIP selama tahun 1945-1949 di Malang.

Anggar bambu adalah koleksi jenis senjata lain di luar senjata berpeluru. Senjata tiruan dari bambu ini merupakan sarana latihan Laskar Putri dalam pendidikan keprajuritan untuk menggunakan senjata tajam dalam pertempuran. Pakaian Laskar Rakyat yang dipakai sewaktu berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia juga dipamerkan di museum bekas hotel ini.

WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Sumber : kompas.com

[+/-] Read More...

Jumat, 08 Mei 2009

Taman Kota Batavia, dari Kebun Sayur Sampai Terowongan

Taman Suropati yang ada di seberang rumah dinas Gubernur DKI Jakarta dan Bappenas ini merupakan salah satu taman peninggalan Belanda. Dulu taman ini bernama Burgemeester Bisschoplein. Pada gambar ini tampak Kelompok Taman Suropati Music Orchestra yang berlatih rutin seminggu sekali di taman ini.

BELUM genap sepekan Gramapel, Pemprov DKI, dan Warta Kota mencanangkan Sejuta Bunga untuk Jakarta. Dimulai di kawasan Kota Tua Jakarta. Sejuta bunga, meski taman minim, dimaksudkan untuk mempercantik kota. Bunga di dalam pot besar berjajar di sepanjang Kalibesar Barat, juga di pinggir Taman Fatahillah. Pot besar di pinggir Taman Fatahillah entah sampai kapan bertahan oleh pengendara sepeda motor yang tak ingin jalannya terganggu di saat jam-jam macet di Jalan Lada hinga ke Jalan Pintu Besar Selatan.

Jika di masa kiwari atau modern ini warga Jakarta "kehilangan" banyak taman maka betapa bahagianya warga Batavia di sekian abad lalu. Pernah dengan Wilhelmina Park? Di atas bekas Taman Wilhelmina ini kini berdiri megah Masjid istiqlal. Di sanalah dulu taman ini berada. Bayangkan taman nan luas, indah, banyak pohon rindang ditambah aliran Sungai Ciliwung yang masih bersih. Warga datang untuk bertamasya.

Warga pribumi menyebut taman ini sebagai Gedung Tanah. Bisa jadi ini karena di tengah taman berdiri benteng Frederik Hendrik. Benteng ini dibangun oleh Gubernur Jenderal van den Bosch pada 1834. Jangan harap bisa melihat sisa benteng ini kecuali jika dilakukan penggalian arkeologi. Dalam buku Jakarta Tempo Doeloe disebutkan, di bawah benteng ini ada terowongan menuju Pasar Ikan. Betul tidaknya, lagi-lagi sebuah penelitian arkeologi yang bisa menjawab.

Di atas benteng ini dipasang lonceng besar. Pemilik lonceng ini tak lain toko arloji milik orang Belanda di Rijswijk, Toko Van Arken demikian namanya. Siang dan malam tentara menjaga benteng ini. Tiap pukul 05.00 dan 20.00 bunyi meriam terdengar dari benteng ini. Bunyi meriam hanya hanya sebagai tanda bagi pihak tentara saja.

Selain benteng, di taman ini juga berdiri monumen untuk memperingati serdadu Belanda yang tewas pada perang Aceh. Nama monumennya, "Atjeh Monument". Monumen ini pun sudah tak berbekas.

Selain Wilhelmina Park, taman-taman kota lain yang dibangun pemerintah Belanda adalah Fromberg Park di Lapangan Monas sisi timur laut (dekat Gambir). Vondel Park ada di lahan yang sama di sisi yang agak lebih ke barat. Nama Vondel diambil dari nama penulis kenamaan Belanda, Joost van den Vondel, yang hidup sampai 1679. Berhadapan dengan istana Merdeka ada Deca Park, Plantsoen van Heutsz Boulevard - kini Taman Cut Meutia.

Taman Suropati yang ada di seberang rumah dinas Gubernur DKI Jakarta dan Bappenas dulu bernama Burgemeester Bisschoplein sedangkan Taman Pejambon semula bernama Hertogs Park. Sebelum menjadi taman, kawasan ini adalah kebun sayur untuk keperluan tentara Belanda yang tinggal di sekitarnya. Maka tak aneh jika hingga sekarang kawasan itu diberi nama Kebun Sayur.

WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Sumber : kompas.com

[+/-] Read More...

Rabu, 06 Mei 2009

Transformasi Buddha Bar

Legenda Jakarta

Kawasan Menteng tahun 1925 (KITLV)

Buddha Bar tidak hanya menyimpan kontroversi keberadaan salah satu kafe elit di Jakarta. Resto dan kafe yang terletak di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat ini menjadi saksi sejarah perjalanan Kota Jakarta.

Budha Bar banyak menyita perhatian publik, karena adanya protes dari Forum Anti Buddha Bar yang menuding resto ini menggunakan simbol agama. Namun mata publik tidak hanya tertuju pada bentuk bangunan yang ada sekarang ini.

Jika menengok bangunan ini, tidak bisa dipisahkan dari sejarah Jakarta. Menurut Sejarawan Adolf Heuken, dalam bukunya, Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia menyebutkan, pembangunan gedung seluas 1.320 meter persegi itu menjadi tanda awal sejarah arsitektur modern di Indonesia.

"Gedung Imigrasi dan Masjid Cut Metia merupakan gedung bertingkat pertama di Jakarta yang dibangun dengan konstruksi beton bertulang," kata Ketua Pelaksana Harian Masjid Cut Mutia, Herry Hermawan saat berbincang dengan VIVAnews.

Gedung bekas kantor Imigrasi Jakarta Pusat ini dibangun pada tahun 1913 oleh arsitek Belanda, Pieter Adriaan Jacobus Moojen. Gedung itu semula digunakan sebagai gedung Lingkaran Seni Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indische Kunstkring).

Gedung kesenian zaman Belanda itu tercatat juga menjadi gerbang masuk kawasan perumahan Menteng, sebuah permukiman pertama bagi warga Batavia kelas atas yang berkonsep kota taman.

Saat pertama dirancang oleh pengembang swasta NV De Bouwploeg. "Para arsitek Belanda yang membangun kawasan menteng saat itu berkantor di NV De Bouwploeg (Bolpo) yang sekarang menjadi masjid Cut Mutia," ungkapnya.

Pemerintah Hindia Belanda menggunakan gedung itu sebagai tempat penyelenggaraan pameran lukisan kelas dunia.

Di tempat itu juga pernah dipajang sejumlah karya asli para perupa terkenal di dunia, antara lain Van Gogh, Marc Chagall, Pablo Picasso, yang dipinjam dari berbagai museum di Eropa.

Setelah Indonesia merdeka, 1945 gedung tersebut dikuasai Pemerintah RI dan dijadikan kantor Imigrasi. Bangunan ini sampai tahun 1997 digunakan sebagai Kantor Imigrasi tempat warga masyarakat mengurus paspor

Seiring terjadinya krisis moneter, gedung peninggalan Belanda tersebut menjadi terbengkalai. Tahun 1998-1999 terjadi penjarahan besar-besaran terhadap bangunan tua yang sudah kosong tanpa tuan. "Kusen-kusen pintu dan jendela, kaca-kaca patri, lampu-lampu habis dirampok orang tak dikenal," katanya.

Herry mengatakan, penjarahan itu dilakukan, karena warga mengetahui jika gedung itu dibeli lisensi penggunaannya selama 20 tahun Tomy Soeharto.

Tapi setelah dijarah dikembalikan lagi kepada pihak Imirgasi, karena itu merupakan gedung cagar budaya kemudian dikembalikan ke Dinas Museum DKI.

Pasca penjarahan itu, kantor Imigrasi Jakarta Pusat pindah ke daerah Kemayoran. Sejak tahun 1999-2008 gedung itu seperti rumah hantu, menjadi tempat yang digunakan tuna wisma.

"Dari situlah kemudian tahun 2008 Buddha Bar bekerja sama dengan pihak dinas museum DKI, maka dijadikanlah tempat yang ada sekarang itu," imbuhnya.

Djan Faridz, pemilik lisensi Buddha Bar di Indonesia kemudian membangun restoran itu. Keberadaan Buddha Bar di gedung Imigrasi itu baru sekitar delapan bulan. "Ada informasi Buddha Bar dimiliki anaknya Sutiyoso dan putri Megawati, Puan Maharani. Tapi saya tidak tahu kebenarannya," terangnya.

Saat ini, gedung itu kembali terlihat megah. Meski harus beralih fungsi menjadi sebuah bar. Nampak di bagian paling atas dinding depan gedung bercat putih itu sama-sama masih terbaca tulisan besar “Immigrasie Dienst” (Dinas Imigrasi). Ini adalah nama lama, dari Direktorat Jenderal Imigrasi yang dikenal sekarang.

Gedung ini menjadi tanda dimulainya periode rasionalisme dalam sejarah arsitek Jakarta. Atau juga dikenal dimulainya periode modernisme.

Sumber : VIVAnews

[+/-] Read More...

Reinkarnasi Metropole

Legenda Jakarta

Bioskop Megaria pada tahun 2009 (VIVAnews/Tri Saputro)

Bioskop Menteng yang kini menjadi Megaria tahun 1955 (KITLV)


Jejak sejarah terkisah di sebuah bangunan kuno yang terletak di Jalan Diponogoro, Jakarta Pusat ini. Berbeda dengan bangunan bersejarah lainnya, bangunan ini memang mengkhususkan untuk tempat khusus pertunjukan film.

Bioskop Megaria yang sekarang ini kembali berganti menggunakan nama lamanya, Metropole.

Gedung ini mulai dibangun pada 11 Agustus 1949 dan rampung sekaligus mulai dioperasikan sebagai bioskop yang diberi nama Metropole pada tahun 1951.

Menurut keterangan pedagang majalah yang sudah berjualan sejak tahun 1965, Hairul Salam, 50 tahun, sejak dibangun tempat ini langsung digunakan untuk bioskop. "Tidak ada bentuk bangunan yang berubah sampai sekarang," katanya.

Bangunan cukup monumental berarsitektur paduan gaya Art-Deco Tropis dan De Stijl dengan menara lancipnya yang khas ini berada di lokasi yang sangat strategis di sudut persimpangan dua jalan yang cukup ramai, yakni antara Jalan Cikini, Jalan Proklamasi (Pegangsaan Timur), dan Jalan Diponegoro yang kala itu bernama Oranje Boulevard.

Berdasarkan catatan sejarah, bioskop Megaria merupakan hasil rancangan Johannes Martinus (Han) Groenewegen, arsitek Belanda kelahiran Den Haag tahun 1888 yang tinggal di Jakarta sampai dengan akhir hayatnya hingga tahun 1980.

Saat-saat Metropole mulai beroperasi tahun 1951, bioskop ini memutar film produksi MGM (Metro Goldwyn Mayer), Amerika Serikat.

Meskipun demikian, sekali-kali memutar film Indonesia. "Waktu saya berjualan di sini namanya sudah diganti dari Metropole menjadi Megaria, konon diganti jadi Megaria karena, Bung Karno (Presiden pertama Indonesia) ketika itu tak suka pada nama berbau Belanda itu," ujarnya.

Setelah bergabung dengan kelompok bioskop 21 pada tahun 1990-an, namanya diganti lagi menjadi Metropole 21.

Akhirnya, sejak beberapa tahun silam, balik lagi memakai nama Megaria 21, dan tahun 2008 kembali lagi menjadi Metropole XXI.

Hairul mengatakan penggantian nama Metropole menjadi Megaria terjadi beberapa kali. Setelah menjadi Megaria, diganti lagi menjadi Metropole, tetapi ditetapkan menjadi Megaria pada tahun 1960-an, sampai akhirnya mengunakan nama semula menjadi Metropole XXI.

Pada dekade 1960 dan 1970-an, bioskop dengan kapasitas 1.500 penonton itu sempat menjadi salah satu yang terbaik dan bergengsi di Jakarta.

Namun, setelah ruang bioskop dipecah-pecah menjadi empat teater kecil ala sinepleks kelompok bioskop 21, pamor Megaria malah merosot dan cuma jadi tujuan penonton film kelas dua

Bagi Hairul, tidak ada perubahan mencolok ketika gedung bioskop sudah beberapa kali berganti nama. Hanya loket penjualan tiket yang dulu terletak di bagian luar kini menjadi tempat pijat refleksi.

Tempat penjualan tiket kini terletak di bagian dalam. Di samping kanan bioskop, yang dulu berupa toko-toko tekstil, kini diisi barber shop, pedagang empek-empek, wartel dan rumah makan ayam kambali.

Di sini juga terdapat kantor sekuriti Metropole, induk dari bioskop Megaria 21. Bagian belakang gedung bioskop, dekat tempat parkir kendaraan bermotor yang kini menjadi studio 5 dan 6, dimana dulunya adalah perumahan militer.


Di sebelahnya terdapat Hero Super Market. Menurut keterangan, pemilik gedung bioskop Megaria, pada tahun 1970-an dan 1980-an, juga membangun Bioskop New Garden Hall yang kini berubah menjadi pertokoan Blok M Plaza.

Gedung ini milik PT Bioskop Metropole, yang punya orang Semarang. Sampai sekarang pemiliknya masih sama.

Meskipun sudah banyak biskop yang lebih modern, tidak membuat biskop yang berlokasi di pertigaan jalan antara Jalan Diponegoro dan Jalan Cikini Raya itu sepi dari pengunjung.

Dinding-dinding bioskop yang menyejarah menjadi saksi bisu kenangan indah pencinta bioskop di masa lalu.

Pada 1993, Gubernur DKI Jakarta melalui SK No. 475 menyatakan Bioskop Metropole sebagai Bangunan Cagar Budaya Kelas A yang dilindungi dan tak boleh dibongkar.

Pada awal 2007, tersiar berita bahwa gedung bioskop ini akan dijual. Lahan dan bangunannya ditawarkan dengan harga Rp 15 juta per m² atau total sekitar Rp 151,099 miliar.

Namun hal itu tenyata tidak menjadi kenyataan, bioskop Metropole XXI hingga kini masih berdiri megah meskipun sudah mengalami sejumlah pembaharuan.

"Saat ini pengunjung memang tidak tahu nama Metropole, mereka pasti bilangnya Megaria, karena itu lebih populer," katanya.

Sumber : VIVAnews

[+/-] Read More...